Sabtu, 08 Mei 2010

Ayahku Idolaku






Pagi itu ruang meeting begitu terasa dingin. Membuat jantungku samakin berdebar – debar. Aura formal saat itu begitu terasa. Aku duduk di sisi kiri meja meeting yang berbentuk lonjong dan panjang. Di seputarnya terdapat kursi – kursi peserta meeting. Lagi – lagi aku harus berhadapan dengan orang audit yang notabene kehadirannya bertujuan untuk memeriksa kegiatan operasional perusahaan kami. Perusahaan kami menyediakan divisi audit yang keberadaannya sangat independent. Mereka berfungsi untuk mengkontrol segala sesuatu kegiatan perusahaan dan juga memberikan konsultasi segala hal yang kegiatan perusahaan.

Tatapanku begitu kosong. Saat itu aku sangat bingung akan memandang apa. Alhasil aku memandang apa saja yang bisa kupandang. Seperti biasa, sebelum meeting dimulai, para peserta meeting asik mengobrol dengan sesama peserta meeting. Banyak hal – hal yang mereka bicarakan. Tentunya tak lepas dari seputar keluarga, bisnis, pengetahuan. Tak ada satupun topik yang tidak bermutu saat itu. Aku mencoba mencari celah untuk masuk dalam topik itu, tetapi umurku membuatku sangat segan untuk menyambung pembicaraan. Akhirnya aku hanya terdiam saja.

Bukan karena kolusi ataupun permainan aku bisa duduk disini. Kebetulan ayahku berada dalam divisi yang memeriksaku ini. Tidak independent kedengarannya. Tetapi kami menjalankannya dengan sportif. Karena ini semua bukan kami yang mengatur. Tuhan lah yang membuat aku berada disini. Semua itu hanya kebetulan saja.

Sesaat kemudian pundakku di tepuk oleh seseorang. Dia sangat berwibawa dan sangat ramah. Dia mengenalku dan dia membuka topik pembicaraan. Aku sangat kaku saat itu. Gerak – gerikku serasa asing dengan aku sehari – hari yang cablak, rock n roll dan santai. Inilah dua sisi yang aku harus jalani. Ada kalanya aku menjadi seperti bak eksekutif muda yang berwibawa dan ada kalanya aku menjadi seorang yang santai, yang bisa jongkok dimana saja sambil menghisap rokok, kentut sembarangan, berbicara seenak perut tanpa di atur baik buruknya.

Dia mulai membicarakan sosok ayahku dimatanya. Dia selalu berbicara mengenai kepemimpinan ayahku dan betapa pintarnya beliau di matanya. Aku hanya terdiam dan sesekali menganggukan kepala. Aku tak bisa berkata – kata saat itu.

Aku dan ayah tinggal di rumah kos yang sama, hanya saja di kamar yang berbeda. Kos kecil yang jauh dari pandangan kemewahan. Sungguh bersahajanya beliau. Level sepertinya seharusnya lebih cocok berada di suatu apartement yang megah dan elit, di kompleks elit, atau rumah yang terbilang high class beserta mobil mewah dan supirnya. Tetapi semua itu tidak bagi beliau. Kesehariannya ada di kos kecil ini, kesehariannya hanya bermain catur di warkop sebelah untuk mengisi waktu senggang. Selain itu dia juga berjalan kaki ke tempat dia bekerja.

Beliau pernah berkata, ”Papa lebih bahagia melihat anak – anak papa sukses ketimbang harus hidup dengan bergelimpang kemewahan, sementara anak - anak papa kelak tidak bisa mempertahankannya dan tidak bisa menjadikannya bermanfaat”.

Ayah selalu mengajarkanku bahwa menuntut ilmu itu tidak kenal usia. Tak heran bila seumuran dia, masih juga berkutat dengan buku – buku. Kadang aku malu melihatnya. Dikamarnya yang aku temukan hanya buku, buku dan buku. Sementara di kamarku dominan dengan benda – benda tertier yang hanya bisa memuaskan nafsu fikiranku saja.

Semangat belajarnya sungguh mengagumkanku. Tak ayal banyak orang menyebutnya buku berjalan. Namun di balik semua kedigdayaan dia, namanya manusia pasti tak sempurna. Ayahku ini tipikal keras kepala dan sedikit diktator. Tak terhitung lagi perdebatan – perdebatan panjang yang tercipta diantara kami.

Mulai dari maslah musik, edukasi, sampai masalah pribadiku yang oon ini sering menjadi topik hangat yang diperdebatkan. Dia mudah percaya dengan seseorang. Itulah yang membuat kami terkadang sering mencoba berperang dengan pola pikirnya itu.

Ayahku ini terlahir di tengah – tengah keluarga yang cukup berada walau tinggal di tengah – tengah kampung. Kakeku seorang ahli keuangan kepercayaan perusahaan Belanda, dan nenekku seorang tabib terkenal dimasanya. Darah seni yang mengalir adalah darah dari kakekku yang konon adalah musisi tradisonal. Dengan darah seni yang kental itu maka terlahirlah ayahku dengan jiwa rocker yang kental.

Ledzeplin, deep purple, europe dan lain – lain adalah musik yang melekat di jiwanya. Aku bangga melihatnya walau terkadang bertolak belakang dengan pemikiranku tentang musik. Ibuku dulu adalah seorang vocalist ternama dimasanya. Mereka salaing memadu kasih semenjak bergabung dalam sebuah band. So sweet....

Ayah.... Akankah aku bisa sepertimu kelak?

Apakah aku bisa mengharumkan namamu kelak?

Seperti kau mengharunkan aku sampai sekarang?

Anda sukses ayah.....!!!
Anda bisa menjadi lebih baik dari kakekku...

Saat ini yang ada di fikiranku adalah, apakah aku bisa sepertinya yang bisa menghidupi keluarga dengan nikmat yang lebih dari cukup. Apakah kelak anakku bisa menulis seperti ini untukku. Melalui tulisan ini aku hanya ingin menepuk pundakku sendiri lalu berkata...

”Kheno kamu bisa !!!”

Saat ini aku ingin sekali melepas belenggu yang bisa menahanku untuk melangkah lebih cepat. Semua itu aku lakukan dan aku usahakan sampe sekarang.

Ayah.... Lebih kurangnya kamu....

Aku mencintaimu dengan sepenuh hati............ I LOVE U DAD.......

1 komentar: